Pemikiran

Pindah ke wordpress.

Saya memiliki ‘blog’ sudah sejak lama. Namun sangat jarang aktif sehingga tulisan yang ada di blog paling-paling hanya ada dua dalam setahun.

Blog saya sebelumnya ini ditulis menggunakan markdown, dan di-compile menjadi html file menggunakan tools yang bernama Jekyll (it’s so techy – programmer things).

Motivasi utama saat saya memutuskan untuk menulis blog menggunakan markdown dan meng-compilenya menjadi HTML menggunakan Jekyll adalah semata demi kecepatan website blog. Tidak ada yang lebih cepat dari menampilkan file html secara langsung dari server. Jika dibandingkan blog yang dibuat menggunakan CMS seperti WordPress dkk, setiap page yang dikunjungi oleh user adalah hasil dari proses komputasi program yang berjalan di server. ‘Proses’ ini membutuhkan waktu dan komputasi. Sehingga untuk case dimana sebuah halaman website tidak memerlukan interaksi dinamis antara user dan server, static page adalah pilihan terbaik dalam hal performa.

Namun, ada trade-off yang terjadi saat saya memilih untuk menulis post-post secara langsung menggunakan Markdown. Walaupun saya mendapatkan performa website yang luar biasa cepat, saya mengorbankan pengalaman ketika saya menulis post. Hal ini sangat terasa ketika saya mencoba untuk membuat tulisan di platform Medium menggunakan post editornya, kemudian setelahnya kembali membuat tulisan di blog pribadi menggunakan markdown.

Menulis secara langsung menggunakan markdown terasa tidak menyenangkan, rasanya seperti sedang menulis code program, padahal sering kali yang saya coba tuliskan di blog merupakan pikiran-pikiran sendiri yang tidak ada hubungannya dengan pemrograman. Belum lagi di setiap kali ada postingan baru, saya harus ‘mendeploy’ versi terbaru dari blog saya karena tulisan baru tersebut harus di-compile terlebih dahulu ke dalam HTML – benar-benar teknis.

Hal inilah yang membuat saya berpikir ulang. Saya pikir tidak ada salahnya mengorbankan sedikit performa jika saya bisa mendapatkan pengalaman menulis yang menyenangkan. Apalagi tipikal website seperti personal blog sebenarnya tidak memerlukan performa yang luar biasa cepat karena pengunjungnya toh juga tidak banyak. Apalagi setelah eksplor lebih jauh, ternyata mayoritas CMS juga memiliki plugin untuk men-generate cache dari page yang sudah pernah dikunjungi sehingga komputasi program PHP yang ada di belakangnya tidak perlu lagi dieksekusi dari awal hingga akhir.

Sepertinya saat memutuskan untuk menggunakan Jekyll, saya terbawa mindset untuk selalu membuat service yang bisa diakses oleh ratusan bahkan ribuan orang per detik saat bekerja sebagai backend engineer.

Singkat cerita, pilihan saya jatuh pada WordPress. Sebuah open source project untuk Content Management System yang sudah ada selama belasan tahun dan digunakan di mayoritas website yang ada di internet.

Saat kuliah dulu, saya sudah cukup sering menggunakan wordpress untuk project kecil-kecilan yang biasa diterima anak kuliahan. Jadi untuk memulainya lagi terasa tidak begitu sulit.

Saat saya selesai meng-install wordpress di local computer, saya mendapatkan kejutan yang menyenangkan. Editor wordpress saat ini menjadi jauh lebih baik. Mengingat bahwa salah satu hal yang paling membuat saya termotivasi untuk pindah platform adalah pengalaman menulis, editor WordPress yang baru menjadi bonus tersendiri bagi saya. Mirip seperti ketika menulis di Medium, alih-alih menulis di ‘text box’ – seperti editor wordpress sebelumnya, sekarang saya bisa menulis ‘secara langsung’ sebagaimana nantinya tulisan ini dipublish. Waw! ini luar biasa. Ditambah lagi theme default twenty-twenty one juga terlihat sangat bagus.

Maka, disinilah saya sekarang. Menuangkan pikiran ke dalam tulisan menggunakan CMS yang menyenangkan. Mudah-mudahan saya bisa mulai rutin untuk menulis setidaknya seminggu sekali.

Terima kasih WordPress!